Tuesday, June 28, 2011

Uzlah Dalam Pandangan Dr. Wahbah Zuhaili

Uzlah menurut pemikiran sebagian sufisme klasik berbeda dengan neo–sufisme dalam perilaku tasawufnya. Sufisme klasik cenderung pada mengisolir diri yaitu uzlah dari keramaian hidup bermasyarakat dan hanya melakukan kegiatan yang bersifat spiritual, diantaranya adalah Surri Al-Sahathi, Sufyan Al-Suri, Bisyr ibn Al-Harists, Al-Hafi dan Al-Ghazali. Sedangkan neo sufisme mendorong dan memotivasi untuk kreatif dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, seperti Fazlur Rahman, Hamka dan Said Ramadhan.
Berawal dari perbedaan pemikiran tersebut, sangat menarik minat penulis untuk mengkaji makna uzlah yang ditulis Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir. Beliau adalah seorang mufassir yang bersikap moderat yang menjauhkan diri dari keberpihakan dan mendukung pemikiran sebagian madzhab atau visi kelompok Islam tertentu.

Penafsiran Dr. Wahbah Zuhaili tentang ayat-ayat Uzlah
Didalam Al-Qur’an tema uzlah tidak didiskripsikan secara gamblang dan detail. Penafsiran uzlah hanya tersirat dari isyarat yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an Ayat uzlah terdapat dalam surat Al-Kahfi yang didalamnya menerangkan kisah Ashhabul kahfi dalam ayat 16 Allah berfirman :
Artinya : “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung kedalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebaian rahmatnya kepada kalian dan menjadikan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian”.
Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana dikuti Az-Zuhaili, tindakan mengasingkan diri kedalam gua sebagaimana pernah dilakukan ashhabul kahfi adalah di syari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membehayakan agamanya.
Az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut :
“Dan ingatlah! Hai ashhabul kahfi akan seruan itu, yang muncul dari antara kamu kepada yang lain. Ketika kalian berketetapan hati untuk melarikan diri, menyelamatkan agama kalian, maka asingkanlah diri kalian. Berpisahlah dengan kaum kalian seraya beruzlah secara fisik dan non fisik dengan berpindah dari tempat tinggal secara mental / kejiwaan dengan ketetapan tidak menyembah apa yang mereka sembah melainkan hanya kepada Allah semata”.
Menurutnya, Allah memerintahkan mereka beruzlah secara fisik dengan cara masuk ke gua besar didalam gunung secara total. Ditempat yang sunyi itu mereka dapat memurnikan jiwa dengan beribadah kepada Allah dan mampu menjauhi orang – orang musyrik. Ini dilakukan mereka sehingga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan persoalan mereka serta menjadikannya bermanfaat.
Berlindungnya para pemuda mukmin yang sebenarnya pemuda – pemuda terhormat masa kekuasaan “Diqyanus” yang kafir kegua adalah wujud pelarian mereka untuk menyelamatkan agama dari fitnah orang – orang kafir penyembah berhala. Peristiwa ini menjadi dalil yang jelas atas tindakan melarikan diri untuk agama dan hijrah untuk berpisah dengan keluarga, istri, anak, saudara, teman dekat, harta benda dan negara karena takut fitnah dan cobaan yang ditimbulkan oleh manusia.

Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat sebagaimana dalam surat At-taubah. Kondisi yang pengecualian ini menjadi dalil atas diperbolehkannya uzlah yaitu mengasingkan diri dari keramaian manusia. Para ulama sepakat dengan pendapat ini. Adapun pada situasi lain, bergaul adalah lebih baik daripada uzlah.
Al-Baghawi, Ahmad bin Hanbal, Turmudzi dan Ibn Majah telah meriwayatkan dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad saw bersabda : Artinya : Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan mereka yang menyakitkan perasaan lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak sabar atas tindakan mereka yang menyakitkan (HR Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah)
Az-Zuhaili juga memahami firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 27 sebagai dasar perilaku uzlah, walaupun disisi lain ia mengkritik perilaku tersebut. Artinya : Kemudian Kami iringkan dibelakang mereka Rasul – rasul Kami dan kami iringkan (pula) Isa putra Maryam dan kami jadikan dalam hati orang – orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada – adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Kami berikan kepada orang yang beriman diantara mereka pahalanya dan banyak diantara mereka orang – orang fasik.
Berkaitan dengan ayat diatas, Az-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk dihati para pengikut Nabi Isa as dan kaum Hawariyyin, tidak seperti kaum Yahudi yang keras hati. Mereka memulai hal baru dalam tradisi keagamaan, yaitu perilaku kerahiban yang sebenarnya tidak disyari’atkan oleh Allah swt.
Ini semata – mata untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah sampai akhirnya mereka mengesampingkan kebutuhan lain seperti makan, minum dan menikah serta menjauhkan diri dari lingkungan kehidupan masyarakat. Mereka bertempat tinggal di gua-gua dan lereng – lereng gunung dengan mengenakan pakaian sangat sederhana. Akan tetapi kebiasaan baru tersebut ternyata tidak dapat dipelihara secara penuh oleh mereka sendiri, sebagian besar mereka justru terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Itulah yang menjadi kritikan Ibn Katsir, sebagaimana dikutip az-zuhaili bahwa mereka telah menyimpang dalam dua hal, pertama mereka melakukan bid’ah dalam masalah agama padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan hal tersebut, kedua, mereka tidak konsisten melaksanakan aktifitas yang menurut mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
Menurut Az-Zuhaili, Al-Qur’an pada dasarnya tidak mensyari’atkan agar manusia dalam situasi normal memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah swt. Alqur’an tidak menyerukan manusia berkonsentrasi penuh terhadap masalah dunia hingga meninggalkan ibadah. Ajaran Al-Qur’an pada dasarnya menegaskan adanya pertalian antara urusan dunia dan akhirat. Keduanya saling melengkapi dan saling menyempurnakan, bahkan dunia adalah lahan yang subur bagi kepentingan akhirat. Al-Qur’an menyerukan agar manusia saling membantu dalam kedua urusan tersebut.
Maka seorang mukmin yang ideal adalah ia selalu beribadah dan bermunajat kepada Allah dimanapun ia berada, baik ketika berdagang, bekerja, bermasyarakat serta menjaga akhlaq yang baik, ia juga selalu berharap kepada Allah agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat bagi dirinya dan orang lain Sebagaiman realisasi firman Allah surat Al-Qashash ayat 77
Mengasingkan diri atau menyendiri bukanlah dari tradisi kehidupan seorang muslim. Tradisi yang berasal dari kehidupan yang Islami adalah pergaulan yang baik, berkumpul secara sehat dan beramah tamah atau bersahabat dengan mereka yang suka kebaikan.
Sedangkan yang melengkapi tradisi kehidupan Islam adalah beruzlah dari kekufuran, kemunafikan dan kefasikan dari orang – orang kafir, munafik dan fasik serta beruzlah dari tempat yang penuh dengan caci maki terhadap ayat – ayat Allah dan hal – hal serupa yang wajib dijauhi.
Al-Qur’an selain melindungi juga membebaskan manusia dari ketertindasan kaum kuat. Uzlah yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah gambaran riil dari solusi bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat. Dalam kisah tersebut diatas ashhabul kahfi siap menjadi buron dan hidup papa, jauh dari keramaian, jauh dari karib, teman dekat, anak istri bahkan harta benda karena iman dan keteguhan hati menjadi skala prioritas hidup, maka uzlah adalah jalan akhir yang harus dilakukan dengan tujuan ridlo Allah dan dekat kepada-Nya.
Sikap uzlah yang ditawarkan Al-Qur’an bukan bermaksud mengkerdilkan jiwa manusia agar takut, lari dan menghindar dari perjuangan. Antisipasinya adalah kekuatan yang tidak sebanding antara negara dan sekelompok pemuda (ashhabul kahfi) walaupun mereka adalah sekelompok pemuda dari kaum bangsawan yang terhormat, mereka tidak mungkin melakukan perlawanan terhadap kerajaan yang memiliki power lebih. Sikap menyingkir merupakan alternatif terbaik bagi ashhabul kahfi, demikian halnya yang dilakukan oleh kaum rahbaniyyin.
Satu hal yang harus disadari adalah uzlah jangan dipahami sebagai sikap menyingkir dan menyelamatkan diri ansich. Dalam Uzlah hakekatnya sikap positif yakni tafakkur dan mendekatkan diri kepada Allah demi tercapainya kejernihan jiwa. Kalau uzlah hanya sebatas menyingkir, sembunyi dan lari dari kehidupan sosial adalah menyalahi fitrah kemanusiaan dan dosa karena menghindar dari tanggung jawab sebagai manusia zone politicon. Bahkan ia akan menjadi pengecut, berjiwa kerdil dan a sosial yang notabene menyalahi aturan Tuhan yang menjadikan dirinya Khalifah Allah fi al-Ardl.
Menurut Az-Zuhaili dua peristiwa ashhabul kahfi dan rahbaniyyin sebagaimana dalam ayat – ayat diatas dapat dijadikan landasan dasar diperbolehkannya Uzlah (pengasingan diri) dari keamaian masyarakat ketika situasi membahayakan jiwa dan tauhid, namun dalam situasi normal ketika jiwa dan akidah umat tidak terancam, sebaiknya manusia tidak mengasingkan diri secara fisik dan non fisik dari masyarakat. Islam pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual, sehingga umat Islam disamping diperintah beribadah dan membersihkan jiwa juga diperintah untuk terlibat aktif dalam aktifitas duniawi yang berorientasi ibadah serta pendekatan dan pengabdian diri kepada Allah swt.
Pendapat Az-Zuhaili tentang prinsip keseimbangan aktifitas manusia, antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan melibatkan diri bersama masyarakat. Pemahamannya terhadap teks Al-Qur’an tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.
Semangat uzlah yang pernah di lontarkan oleh para sufi, sangat relevan untuk dikaji ulang dengan pemahaman Qur’ani dan diaktualisasikan dalam kehidupan dimasa sekarang ini, dimana ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan akan nilai – nilai spiritualitas, mereka banyak terlibat dalam glamornya dunia. Kalau yang terjadi demikian maka mereka akan menjadi manusia yang kehilangan nilai – nilai agama sehingga menjadi resah. Dalam kondisi seperti ini, uzlah dalam pengertian meninggalkan segala perilaku dan nilai – nilai tidak baik dan melaksanakan nilai-nilai Islam yang diridloi Allah merupakan solusi yang tepat dalam rangka meningkatkan moralitas individu dan masyarakat menjadi lebih baik.
Uzlah tidak sekadar lari dan menjauhi keramaian, sikap menghindari dan menjaga dari hal – hal yang menyebabkan maksiat adalah uzlah dalam artian sempit. Kisah ashhabul kahfi dan rahbaniyyin yang lari dari ancaman pemerintah dengan cara lari kegua tidak boleh dipahami secara letterleik. Konteks uzlah era sekarang adalah berubah pada sikap sebagai pribadi yang menyadari dan bersikap bahwa ia harus menghindari kemaksiatan serta hal – hal yang menyebabkan dosa kecil dan besar.
Uzlahnya Ashhabul Kahfi, Kaum Rahbaniyyin dan Nabi Muhammad dengan cara pergi kegua karena tuntutan zaman saat itu memang demikian. Sekarang kita bisa beruzlah ditengah – tengah aktifitas sehari-hari yakni menanamkan keteguhan hati dan selalu memerangi kemungkaran. Menghindarkan diri bisa berarti pergi atau tidak melaksanakan, inilah sesungguhnya hakekat makna uzlah
Kesimpulan
1. Menurut Wahbah Az-Zuhaili perilaku uzlah pernah dilakukan umat Nabi Isa as yaitu Ashhabul Kahfi dan Kaum Rahbaniyyin, demi keselamatan jiwa dan agama dari kedhaliman penguasa. Hal ini hanya boleh dilaksanakan dalam kondisi darurat, sedangkan pada kondisi normal Al-Qur’an menegaskan harus ada keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan.
2. Pemahaman Az-Zuhaili terhadap teks Al-Qur’an tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.

3. Konsep keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat dalam realita sekarang yang penuh dengan ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan akan nilai – nilai spiritualitas sangat relevan diterapkan sebagai solusi terhadap problema kehidupan sekarang.
Referensi:
Amin Syukur, MA, Prof. Dr. Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997
Az-Zuhaili, Wahbah, Dr. Tafsir Al-Munir fi al-aaridah wa asy – Syari’ah wa al Manhaj, Dra al Fikr al –musahir, Damaskus, 1991
____________, Al-Qur’an al-Karim Bunyatuh al-Tashri’iyyah wa Khashaisuh al Hadlariyyah, Dra Al-Fikr, Damaskus, Cet. I, 1993
Ayazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al_islam, Teheran, cet I., 1993
Al-Qazwini, Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, Dar al Fikr, Beirut, t.th.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, Sunan At-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.th.
Awwa, Said, Tarbiyyatuna Ar –Ruhiyyah, Dar as-Salam, Cet III, 1990.
Muhayya, Abdul Dr. dkk, Tasawwuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogya, 2001